Prof. Dr. Anton A Setyawan, SE.,M.Si.
Guru Besar Ilmu Manajemen Fak Ekonomi dan Bisnis
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Muhammadiyah baru saja menyelesaikan acara besar lima tahunan yaitu Muktamar Muhammadiyah dan Aisyah (MMA) ke-48 di Surakarta, tanggal 18-20 November 2022. Acara yang berlangsung di Universitas Muhammadiyah Surakarta ini menghasilkan 7 agenda yang wajib dilaksanakan pimpinan maupun warga Muhammadiyah selama 5 tahun ke depan. Ke-7 agenda tersebut adalah: 1) Peneguhan dakwah keislaman dan ideologi Muhammadiyah, 2) Penguatan dan penyebarluasan pandangan Islam berkemajuan, 3) Memperkuat dan memperluas bisnis umat di akar rumput, 4) Mengembangkan AUM unggulan dan kekuatan ekonomi, 5) Berdakwah bagi milenial, generasi Z dan generasi Alpha, 6) Reformasi kaderisasi dan diaspora kader ke berbagai lingkungan dan bidang kehidupan, dan 7) Digitalisasi dan intensitas internasionalisasi Muhammadiyah.
Poin 3 dan 4 dalam agenda yang menjadi rekomendasi Muktamar ke-48 terkait dengan potensi Muhammadiyah sebagai penggerak ekonomi Indonesia. Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar pada tahun 2015 sudah menempatkan pilar ekonomi sebagai pilar ke-3 gerakan dakwah Muhammadiyah. Pada Muktamar ke-47 diamanatkan agar gerakan ekonomi Muhammadiyah ditujukan pada 3 sasaran, yaitu: pertama, membangun kekuatan ekonomi dan institusi (persyarikatan) dalam bentuk Badan Usaha Milik Muhammadiyah (BUMM). Kedua, membangun kekuatan ekonomi warga persyarikatan. Dalam konteks ini peran organisasi dibawah Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan (MEK) seperti Jaringan Saudagar Muhammadiyah (JSM) dan berbagai jaringan bisnis milik warga Muhammadiyah lain menjadi penting. Ketiga, membangun jaringan bisnis dengan pihak luar baik swasta, pemerintah maupun entitas bisnis lain yang memberikan manfaat bagi persyarikatan.
Harapan ummat Muhammadiyah secara khusus maupun masyarakat Indonesia secara umum adalah organisasi ini bisa memberikan kontribusi terhadap perekonomian secara nyata. Salah satu masalah ekonomi yang dihadapi negara ini adalah kesenjangan kesejahteraan ekonomi. Angka indeks Gini Ratio Indonesia per Maret 2022 mencapai 0,384 yang berarti tidak mengalami perubahan dibandingkan tahun 2021 pada bulan yang sama. Data lain dari World Inequality Report menunjukkan potret kesenjangan ekonomi di Indonesia. Dalam laporan tersebut ditunjukkan bahwa 50% kelompok terbawah masyarakat Indonesia rata-rata hanya memiliki kekayaan senilai Rp 6,7 juta, sedangkan 10% kelompok masyarakat teratas memiliki kekayaan rata-rata sebesar Rp 457,9 juta dan 1% kelompok masyarakat teratas memiliki kekayaan rata-rata sebesar Rp 2,25 miliar.
Melawan Oligarki
Salah satu penyebab adanya kesenjangan ekonomi di Indonesia adalah karena ketidakadilan dan kesenjangan akses terhadap sumber daya ekonomi. Hal ini disebabkan adanya kelompok-kelompok oligarki yang jumlahnya semakin banyak di Indonesia. Oligarki adalah beberapa elite, keluarga, perusahaan atau kelompok yang menguasai struktur kekuasaan suatu negara. Pada masa Orde Baru, struktur kekuasaan politik di Indonesia dikuasai oleh sekelompok elite militer, konglomerat dan keluarga dekat Presiden Soeharto. Pada masa itu akses terhadap sumber daya ekonomi hanya bisa didapatkan berdasarkan “restu” kelompok-kelompok tersebut. Gerakan reformasi tahun 1998 yang membuat rezim Orde Baru runtuh membawa harapan munculnya keadilan ekonomi di Indonesia. Namun, alih-alih menghilangkan oligarki, periode Reformasi justru memunculkan oligarki-oligarki baru yang menguasai struktur kekuasaan dan akses ekonomi baik di pusat maupun daerah. Oligarki baru ini adalah elite politik, keluarga dan pengusaha di daerah yang mendapatkan keuntungan politik karena otonomi daerah, selain itu oligarki baru yang muncul pasca krisis ekonomi tahun 1998 menjadikan keadilan ekonomi masih jauh dari harapan.
Oligarki dalam bidang ekonomi juga tercermin dari struktur pasar industry di Indonesia. Riset dari Kurniati dan Yanfitri (2010) yang menemukan bahwa 80 persen industri di Indonesia mempunyai struktur pasar oligopoly. Sekedar mengingat kembali, konsep dasar struktur pasar oligopoli adalah pasar yang terdiri dari sedikit penjual/produsen yang membuat kesepakatan tentang harga dan jumlah barang yang ditawarkan untuk menjaga agar mereka mendapatkan keuntungan tinggi. Secara empirik kita bisa mengamati bagaimana beberapa pasar komoditas di Indonesia patut dicurigai mempunyai struktur pasar oligopoly atau dikuasai kelompok pedagang dan produsen tertentu. Hal ini ditandai dengan adanya fluktuasi atau naik turunnya harga yang tidak bisa dijelaskan dari konteks perhitungan biaya dan permintaan. Sebagai contoh, pada saat ada kenaikan atau penurunan harga cabe rawit, daging ayam potong dan telur ayam. Dalam beberapa kasus, pada saat terjadi kenaikan harga yang tinggi ternyata keuntungan yang diterima oleh peternak atau petani tidak naik sebanyak kenaikan harga di level konsumen. Pada sisi lain beberapa komoditas pangan dan pertanian dibiarkan tetap bergantung pada impor, misalnya kedelai, jagung (untuk pakan ternak) dan bawang putih. Tidak ada alasan yang jelas mengapa komoditas-komoditas tersebut tidak bisa ditanam dalam jumlah yang produktif di Indonesia. Kondisi ini jika dibiarkan dalam jangka panjang akan berdampak merusak terhadap perekonomian nasional.
Peran Muhammadiyah
Agenda Muhammadiyah terkait dengan masalah ketimpangan ekonomi yang disebabkan oligarki ini adalah dengan melaksanakan poin 3 dan 4 rekomendasi hasil Muktamar ke-48 di Surakarta. Poin 3, yaitu memperluas dan memperkuat bisnis ummat di akar rumput. Dalam konteks ini, warga Muhammadiyah sudah banyak yang menjadi pebisnis di level UMKM. Penguatan yang perlu dilakukan adalah pada aspek kelembagaan. Pengelolaan organisasi bisnis ummat di akar rumput harus diperkuat. Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PP Muhammadiyah sudah menginisiasi munculnya BUMM (Badan Usaha Milik Muhammadiyah). BUMM ini diharapkan menjadi unit bisnis yang kuat dan profesional sehingga mampu menjadi salah satu tonggak gerakan ekonomi Muhammadiyah. Tonggak kedua adalah Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). Lembaga ini pada awalnya adalah lembaga nirlaba yang tidak berorientasi bisnis. Namun demikian, AUM yang kebanyakan berbentuk perguruan tinggi dan rumah sakit (PKU) ini membentuk jejaring bisnis dalam bentuk klaster industri moderen yang kuat.
Entitas bisnis Muhammadiyah dalam bentuk BUMM, AUM dan lembaga bisnis lain milik warga Muhammadiyah mempunyai potensi untuk menjadi tandingan oligarki. Hal ini dikarenakan filosofi dasar dari entitas bisnis Muhammadiyah adalah bisnis sosial dengan tujuan mensejahterakan warga Muhammadiyah secara khusus dan masyarakat Indonesia secara umum. Entitas bisnis ini bukan milik pribadi dengan tujuan mobilisasi kapital melainkan kesejahteraan bersama. Namun demikian ada beberapa pekerjaan rumah besar bagi Muhammadiyah untuk menggerakkan ekonomi ummat. Pertama, entitas bisnis Muhammadiyah baik berupa BUMM maupun jejaring AUM harus masuk ke dalam bisnis komoditas primer, yaitu pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan, perkebunan dan pertambangan. Hal ini untuk menjamin bahwa peran ekonomi Muhammadiyah dimulai dari pondasi ekonomi nasional, yaitu sektor primer. Kedua,jejaring bisnis dalam bentuk klaster bisnis yang diinisiasi oleh AUM dengan pendekatan filosofis bisnis sosial harus diperkuat dari sisi kelembagaan. Dua hal ini bisa menjadi modal bagi gerakan ekonomi Muhammadiyah untuk mengantisipasi dampak buruk oligarki ekonomi.
Discussion about this post