JAKARTA — Presiden Joko Widodo (Jokowi) menilai, kondisi Indonesia saat ini masih berada dalam posisi yang baik jika dibandingkan dengan negara lain. Ia mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal pertama pun masih baik yakni mencapai 5,01 persen.
Sedangkan, inflasi Indonesia juga dinilai masih terkendali jika dibandingkan negara lainnya di tengah berbagai kesulitan yang dihadapi dunia saat ini. Hal ini disampaikan Jokowi saat acara pemberian Nomor Induk Berusaha (NIB) pelaku Usaha Mikro Kecil (UMK) Perseorangan tahun 2022 di Jakarta, Rabu (13/7), dilansir Republika.
“Kita tahu hampir semua negara sekarang ini dalam posisi yang tidak mudah, tetapi negara kita alhamdulillah kita masih berada di posisi yang baik. Pertumbuhan ekonomi kita di kuartal pertama 5,01. Inflasi kita juga dibandingkan negara-negara lain juga masih terkendali,” ujar Jokowi.
Karena itu, Presiden mendorong para pelaku UMKM untuk terus memperbesar ekspansi usahanya sehingga memberikan kontribusi ekonomi untuk negara. Data per 2021 mencatat terdapat sebanyak 65,4 juta UMKM di Indonesia.
Jokowi mengatakan, kontribusi UMKM terhadap perekonomian nasional pun sangatlah besar, yang mencapai hingga 61 persen serta mampu menyerap tenaga kerja hingga 97 persen.
“Bukan di yang gede-gede. Ini perlu dicatat, penyerapan tenaga kerja ini bukan di perusahaan-perusahaan besar, maaf pak Arsjad. Bukan di perusahaan-perusahaan besar tapi di perusahaan-perusahaan mikro, kecil, dan menengah,” ujar Jokowi.
Direktur eksekutif Center of Reform on Economics (CORE Indonesia) Mohammad Faisal mengatakan, kemungkinan Indonesia mengalami seperti Sri Lanka masih sangat jauh, jika dilihat dari berbagai indikator.
“Untuk resesi, saya rasa masih jauh, tapi yang mungkin terjadi peningkatan risiko berupa melambat atau tertahannya pertumbuhan ekonomi jika kondisi ini terus terjadi,” katanya.
Indikator pertama adalah, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat inflasi di Indonesia 4,35% (yoy) dan 3,19% (Januari-Juni 2022). Angka itu timpang secara drastis dengan inflasi di Sri Lanka yang sudah mencapai 50%, bahkan disebut berpotensi mencapai 80%.
Indikator kedua adalah neraca perdagangan Indonesia yang surplus karena topangan komoditas yang harganya kini meningkat, yaitu batu bara dan kelapa sawit.
Dua komoditas yang kini sangat terdampak secara global adalah di bidang pangan dan energi.
“Kita net-importer minyak bumi, tapi kita net-exporter CPO sawit, minyak bumi, dan juga terbesar untuk batu bara. Jadi ini menolong Indonesia karena harga internasional tinggi,” ujar Faisal.
Discussion about this post