Penulis: Abdul Rahman, S.Pd.I., MA (Wasekum IGI Sidrap)
Syekh Abdul Qadir adalah seorang ulama yang terkenal pada zamannya. Murid-muridnya berasal dari berbagai kalangan. Ada anak orang kaya, ada anak penguasa, ada juga anak pedagang dan anak-anak orang miskin. Di madrasah Syekh Abdul Qadir tidak ada dikriminasi, semua murid diperlakukan sama.
Di madrasah Syekh Abdul Qadir diperkenalkan ilmu dan lebih diutamakan adab, termasuk adab kepada guru yang dijunjung tinggi. Termasuk adab yang diajarkan adalah bagaimana murid berhikmat dan meraih keberkahan dari gurunya.
Sebuah kebiasaan bahwa ketika sang guru sedang menyantap makanan, maka murid-murid tidak ada yang ikut makan sebelum gurunya selesai, ternyata ada tradisi meraih berkah ilmu dengan memakan sisa makanan gurunya.
Syekh Abdul Qadir paham hal tersebut sehingga ia selalu menyisahkan makanannya untuk di ambil oleh murid-muridnya. Seorang tamu yang datang menjenguk anaknya melihat hal itu dan berfikir bahwa anak-anak mereka yang belajar pada Syekh Abdul Qadir diperlakukan seperti babu atau kucing. Masa mereka diberikan sisa makanan dari gurunya. Pikiran kotor inilah yang menyebabkan orang tua murid tadi memprofokasi orang tua lainnya.
Salah satu orang tua yang merupakan orang terpandang, kaya dan penguasa termakan propokasi dan datang menghadap Syekh Abdul Qadir dan mengungkapkan keberatannya atas perlakuan sang guru kepada anaknya yang dianggap melecehkan kehormatannya dan kehormatan anaknya.
Maka terjadilah dialog sebagai berikut :
“Wahai tuan syekh, saya menghantar anak saya kepada tuan syekh bukan untuk jadi pembantu atau dilakukan seperti kucing. Saya hantar kepada tuan syekh, supaya anak saya jadi alim ulama’.”
Syekh Abdul Qadir hanya jawab ringkas saja. “ Kalau begitu ambillah anakmu.”
Maka si bapak tadi mengambil anaknya untuk pulang. Ketika keluar dari rumah syekh menuju jalan pulang. Orang tua murid tadi bertanya pada anaknya beberapa hal mengenai ilmu hukum syariat, ternyata kesemua soalannya dijawab dengan tepat dan rinci. Maka bapak tadi berubah fikiran dan mengembalikan anaknya kepada tuan Syekh Abdul Qadir.
“Wahai tuan syekh terimalah anak saya untuk belajar dengan tuan kembali. Tuan didiklah anak saya. Ternyata anak saya bukan seorang pembantu dan juga diperlakukan seperti kucing. Saya melihat ilmu anak saya sangat luar biasa bila bersamamu.”
Maka jawab tuan Syekh Abdul Qadir. “Bukan aku tidak mau menerimanya kembali, tapi ALLAH sudah menutup pintu hatinya untuk menerima ILMU dariku, ALLAH sudah menutup futuhnya (Mata Hati) untuk mendapat ilmu disebabkan orang tua yang tidak beradab kepada GURU.”
Ternyata orang tua yang tidak beradab pada guru bisa menyebabkan anak-anaknya menjadi korban kehilangan keberkahan ilmu dari guru-gurunya.
Begitulah ADAB dalam menuntut ilmu. Anak, Ibu, Ayah dan siapa pun perlu menjaga adab kepada guru. Kata ulama: Satu perasangka buruk saja kepada gurumu maka Allah haramkan seluruh keberkatan yang ada pada gurumu kepadamu.
Kisah ini adalah refleksi untuk para orang tua siswa, sia-sialah kita menyekolahkan anak kita kalau pada akhirnya ilmu yang diperolehnya tidak berberkah. Karena kita sebagai orang tua yang tidak beradab kepada guru sehingga anak-anak kitapun menjadi kehilangan adab kepada gurunya.
Dalam pandangan psikologi islam, manusia itu memiliki 5 kekuatan pada dirinya, dua kekuatan yang mulia yakni Quatun Ilahiah (Potensi Ketuhanan), Quatun Mulkiah (kekuatan Malaikat), dua kekuatan yang rendah yakni Quatun Syaitaniah ( Kekuatan Syaitan) dan Quatun Bahimiyah (Kekuatan Hewan) dan satu kekuatan kunci yaitu Quatun Aqliyah (Kekuatan Aqal).
Akal manusia berfungsi untuk menimbang baik dan buruknya sesuatu. Sehingga kekuatan akal adalah penentu apakan manusia akan menanjak dengan dua kekuatan mulia ataukah dia akan terjerumus jatuh pada 2 kekuatan rendah.
Akal ibarat wadah, isinya adalah ilmu. Semakin mantap ilmu pada akal semakin bersar kekuatan akal dalam mempertimbangkan segala sesuatu.
Ilmu adalah cahaya yang degan cahaya itu kita bisa memahami warna warni kehidupan.
Tak ada ilmu tanpa guru, tak ada ilmu maka aqal tak berdaya. Ketika akal tak berdaya maka watak yang akan tumbuh pada manusia adalah watak syeitan dan binatang yang menyingkirkan watak ketuhanan dan watak malaikat. Maka jadilah manusia tubuhnya sementara jiwanya adalah jiwa binatang.
Pada posisi ini, maka pendidikan menjadi penting bagi manusia, karena pendidikanlah yang akan mejadikan manusia mampu mengendalikan watak setan dan binatang pada dirinya dan memberdayakan kekuatan Ilahiah dan kekuatan Malaikat pada dirinya. Ruh pendidikan adalah Guru. Tanpa guru pendidikan tidak ada artinya. Apapun adanya, keberadaan guru dalam pendidikan takkan tergantikan oleh apapun.
Menyadari adanya sifat kehewanan pada diri manusia, maka tak dapat dihindari metode dalam menundukkan watak itu adalah dengan sedikit pukulan. Makanya guru kami selalu mengatakan “ yang saya pukul bukan kamu nak, tetapi sifat hewan dalam dirimu.”
Memukul adalah salah satu metode tetapi tidak sampai membuat bekas, apalagi setelah memukul siswa, guru mesti memulihkan perasan anak tersebut. Guru kami berpesan “ Kalau kau pukul anak didikmu, jangan sertai dengan amarah tetapi dengan do’a, insya Allah itu tidak akan membuatnya sadar akan kesalahnnya.”
Masalahnya terkadang orang tua siswa tidak faham dan cendrung egois ketika anaknya mendapat sentuhan dengan pukulan oleh gurunya. Dianggaplah itu sebagai kekerasan dalam dunia pendidikan.
Ibaratnya guru adalah Dokter, dan siswa adalah Pasien. Seorang pasien yang datang berobat yang setelah didiagnosa ternyata penyakitnya ringan saja maka diberikanlah vitamin dan antobiotik oleh dokter. Tetapi ada pasien datang berobat dan ternyata pasiennya mengidap penyakit kanker dan harus dioprasi, maka tentu dokternya tidak lagi memberi resep tetapi menyarangkan langkah oprasi. Bayangkan oprasi itu menyakitkan dan melukai jaringan tubuh, karena hanya dengan jalan itu pasien bisa selamat. Kalo guru sudah menegur berkali-kali, melakukan berbagai pendekatan, orang tua bahkan sudah dipanggil, sudah tanda tangan surat pertnyataan pula di BP tetapi tidak berubah wataknya, berarti anak ini sakit parah dan mungkin untuk merubahnya hanya dengan pukulan yang sifat tidak melampaui batas kewajaran. Siapa tahu dengan pukulan itu sang anak bisa terselamatkan.
Guru kami berpesan “ Bekas Pukulan guru ketika mendidik muridnya maka pada bagian bekas pukulan itu tidak akan disentuh api neraka.” Tentu apabila murid dan orang tua sabar menerimanya.
Saya berani berkata ” seandainya bukan karena pukulan guru saya tidak akan menjadi seperti sekarang ini. Saya tak dapat membalas setiap kesadaran dan ilmu yang diberikan dengan Do’a.
Tulisan ini saya angkat untuk menyemangati perjuangan salah seorang rekan guru dari UPT SMP Negeri 2 Sidrap (Pak TASMIR / Guru IPS) yang sedang berjuang menghadapi gugatan salah satu orang tua siswa kelas IX.A yang melaporkan beliau ke polisi karena memukul salah seorang siswa dengan absen pada hari Rabu, 22 Januari 2020.
Mari bersama berikan dukungan moral, teman-teman guru dan segenap pemerhati pendidikan, orang tua siswa, alumni SMPN 2 Pangsid untuk bersama-sama dengan IGI mendorong kasus ini supaya selesai dengan jalan yang terbaik untuk smuanya.
(Pangkajene, 02 Maret 2020)
Discussion about this post